Jumat, 03 Mei 2013

Makalah Ushul Fiqhi (Istihsan)

Tugas Individu ISTIHSA>N Oleh: DARMAWATI NIM : 80100212022 Dosen Pemandu: Prof. Dr. H. MINHAJUDDIN, MA Drs. H. M. MAWARDI DJALALUDDIN, Lc. M.Ag PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR 2013 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya. Istihsa>n termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti lughwi (bahasa), yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik”. Tetapi dalam pengertian istilahnya (yang biasa berlaku), para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan mendefinisikan istihsa>n itu. Ulama yang menggunakan metode istihsa>n dalam berijtihad mendefinisikan istihsa>n dengan pengertian yang berlainan dengan definisi dari orang yang menolak cara istihsa>n. Sebaliknya ulama yang menolak penggunaan istihsan mendefinisikan istihsan dengan pengertian tidak seperti yang didefinisikan pihak yang menggunakannya. Seandainya mereka sepakat dalam mengartikan (mendefinisikan) istihsan itu, maka mereka tidak akan berbeda pendapat dalam menggunakannya sebagai suatu metode ijtihad. Istihsa>n menurut istilah ushul yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid dari qiya>s jalli (jelas) kepada qiya>s khafi (yang tersembunyi), atau dari hukum kulli kepada hukum istisna>i. Disni terdapat kecenderungan yang lebih kuat mencela perbandingan yang dikemukakan orang tentang suatu peristiwa yang tidak berdasarkan nash. Dalam hal ini terjadi dua pendapat, pertama terang-terangan memperlakukan hukum, dan yang kedua secara sembunyi-sembunyi, oleh karena itu para mujtahid itu sendiri yang menegakkan dalil, untuk menguatkan bentuk yang sembunyi-sembunyi itu, dan membetulkan bentuk pandangan zahir. Untuk memahami salah satu metode ijtihad yaitu, istihsa>n maka dalam makalah ini, penulis akan membahas sesuai dengan rumusan masalah yang ada. B. Rumusan Masalah 1. Apakah definisi istihsa>n? 2. Bagaimanakah kehujjahan istihsa>n? 3. Bagaimana relevansi istihsa>n di masa kini dan masa mendatang? PEMBAHASAN A. Pengertian istihsa>n Secara etimologi istihsa>n (استحسان) berarti “memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau adanya sesuatu yang lebih baik. Dan bisa diartikan dengan menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu. Dalam pengertian secara etimologi ini tidak terdapat perbedaan ulama ushul fiqh dalam mempergunakan lafal istihsa>n, karena lafal yang seakar dengan istihsa>n banyak dijumpai dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Misalnya dalam Q.S Az-zumar, 39/18, Allah berfirman : الذين يستمعون القول فيتبون أحسنه Terjemahnya : Orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang baik diantaranya. Kemudian dalam suatu riwayat dari ‘Abdullah ibn Mas’ud Rasulullah saw. Bersabda: ما رآه المسلمون حسسنا فهو عند الله حسن “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka di sisi Allah itu juga baik. (H.R. Ahmad ibn Hanbal). Secara terminologi, pengertian istihsa>n para ulama ushul fiqh telah merumuskan beberapa definisi, maka diantara definisi inilah ada yang berbeda karena akibat dari adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang disepakati semua pihak, namun diantaranya ada yang diperselisihkan dalam pengalamannya. Ada beberpa definisi yang di kemukakan oleh para ulama ushul yaitu : 1. Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu : a. عدول عن قياس الى قياس اقو ى منه “Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari padanya (qiya>s pertama)” b. عدول عن الدد ليل الى العدة للمصلحة “Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan”. 2. Definisi istihsa>n dikalangan ulama Malikiyah diantaranya adalah sebagaimana yang dikemukakan al-Syatibi. وهوفي مذهب مالك الاخذ بمصلحة جزئية في مقبلة د ليل كلى “ Istihsa>n dalam mazhab Maliki adalah menggunakan kemaslahatan yang bersifat Juz’I sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli.” 3. Dikalangan ulama Hanabilah terdapat 3 definisi yaitu : a. Beralihnya para mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanya dalil khusus dalam al-Qur’an atau sunnah b. Istihsa>n itu apa-apa yang dianggap lebih baik oleh seorang mujtahid berdasarkan pemikiran akalnya. c. Dalil yang muncul dalam diri mujtahid yang ia tidak mampu menjelaskannya. 4. Di kalangan ulama Hanafiyah istihsa>n itu ada dua macam yang dikemukakan dalam dua rumusan yaitu : a. Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam menentukan sesuatu yang syara’ menyerahkannya kepada pendapat kita. b. Dalil yang menyalahi qiya>s yang zahir yang didahului prasangka sebelum diadakan pedalaman terhadap dalil itu namun setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiya>s itu lebih kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan. Setelah membaca beberapa definisi diatas, mungkin kita akan mengalami kesulitan memahami istihsa>n dari berbagai definisi itu, marilah kita ambil contoh kasus yang oleh para mujtahid disebut sebagai istihsa>n. Melihat aurat perempuan yang bukan muhrim haram, karena dapat menimbulkan "fitnah" (membawa orang kepada kemaksiatan). Yang dalam kurung itu disebut 'illat yang sangat jelas (kita sekarang sedang melakukan qiya>s jalli). Bagaimana hukumnya seorang dokter yang harus memeriksa pasien wanitanya? Bila ia tidak melihat auratnya, ia tak bisa menolong pasien itu dengan baik. Ia harus menolong pasien itu untuk mengembalikan kesehatannya, untuk kemaslahatan pasiennya. Tapi alasan ('illat) ini hanya dalam kasus pasien saja dan dianggap tegas (kita sedang melakukan qiya>s khafiy). Bila kita meninggalkan qiya>s jalli dan mengambil qiya>s khafi, kita melakukan istihsa>n. Perlu di ketahui bahwa qiya>s berbeda dengan istihsa>n. Pada qiya>s ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa. Ditinjau dari segi pengertian istihsa>n menurut ulama ushul fiqh di atas, maka istihsa>n itu terbagi atas dua macam, yaitu: 1. Pindah dari qiya>s jalli kepada qiya>s khafiy, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu. 2. Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Salah satu contoh istihsan macam pertama menurut nash para fuqaha Hanafiyah yaitu : Sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jalli sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiya>s khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiya>s jalli kepada qiya>s khafi, yang disebut istihsa>n. Contoh istihsa>n macam kedua: Syara' melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara' memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istisna) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat. Dari contoh di atas nampak bahwa karena adanya suatu kepentingan atau keadaan maka dilaksanakanlah hukum juz-i dan meninggalkan hukum kulli. B. Kehujjahan Istihsa>n Dari definisi istihsa>n dan penjelasan dua macamnya, maka jadi jelas bahwa istihsa>n itu pada hakekatnya bukan sumber pembentukan hukum yang tersendiri. Karena hukum-hukum macam pertama dari dua macam tersebut dalilnya adalah qiya>s khafi, yang menang atas qiya>s jalli lantaran faktor-faktor yang memenyenangkan, yang menjadi tentram hati seorang Mujtahid, yaitu jalan istihsa>n. Sedangkan hukum-hukum dari macam kedua, diantara macam dalilnya adalah al-Mashlahah, yang menuntut adanya pengecualian bagian hukum kulli, yaitu yang diungkapkan sebagai jalan istihsa>n. Para ulama yang menggunakan hujjah istihsan, ialah kebanyakan ulama Hanafiyah. Dalil mereka atas kehujjahannya yaitu, bahwasanya mengambil dalil dengan istihsa>n itu hanyalah istidlal dengan qiya>s khafi yang menang atas qiya>s jalli, atau istidhlal dengan mashlahah mursalah (kepentingan umum) atas pengecualian bagian hukum kulli. Semua ini adalah istidlal yang shahih. Ulama syafi’iyyah, Zhahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah tidak menerima istihsa>n sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum. Alasan mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Syafi’I adalah : 1. Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an atau sunnah) dan pemahaman terhadap nash melalui kaidah qiya>s. Istihsa>n bukanlah nash dan bukan pula qiya>s. Jika istihsa>n berada diluar nash dan qiya>s, maka hal ini berarti ada hukum-hukum yang belum ditetapkan Allah yang tidak dicakup oleh nash dan tidak bisa dipahami dengan kaidah qiya>s. 2. Sejumlah ayat telah menuntut umat Islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya dan melarang secara tegas mengikuti hawa nafsu dalam berbagai persoalan yang dihadapi manusia. 3. Istihsa>n adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja. Jika boleh meninggalkan nash dan dan mengambil dalil lain, maka hal ini berarti membolehkan seseorang yang tidak bisa memahami nash atau qiya>s menetapkan hokum berdasarkan istihsa>n, karena mereka juga memiliki akal. Akibatnya, akan bermunculan fatwa-fatwa hukum yang didasarkan pada pendapat akal semata, sekaligus merupakan upaya pengabaian terhadap nash. 4. Rasulullah saw. tidak pernah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsa>n. 5. Rasulullah saw. telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada didaerah ketika mereka menetapkan hukum berdasarkan yang berada didaerah ketika mereka menetapkan hukum berdasarkan istihsa>n mereka. 6. Istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat dipertanggung jawaban. Oleh sebab itu, tidak bisa pula dipertanggungjwabkan secara syar’i sehingga tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. C. Relevansi Istihsan di Masa Kini dan Mendatang Sejarah peradaban dari masa ke masa, dari zaman ke zaman, dan di era globalisasi saat ini dan yang akan terus berkembang sepanjang masa, permasalahan akan semakin berkembang dan kompleks. Permaslahan itu harus dihadapi oleh umat Islam yang menuntut adanya jawaban, solusi atau penyelesaian dari segi hukum Islam. Kalau hanya semata mengandalakan pendekatan dengan cara metode lama (konvensional) yang digunakan ulama terdahulu untuk menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan tersebut dengan baik (tepat). Oleh karena itu para mujtahid mampu menemukan cara atau pendekatan yang alternatif diluar pendekatan lama, meskipun harus meninggalkan pendekatan lama yang selama ini digunakan. Maka kecenderungan untuk menggunakan istihsan akan semakin kuat karena kuatnya dorongan dari tantangan persoalan hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia yang semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Diantara contoh yang paling dekat dan mendesak untuk ditangani dewasa ini adalah : 1. Pelaksanaan ibadah haji dari tahun ke tahun semakin dirasakan semakin kompleks dan semakin sulit mengatasinya mengingat jama’ah haji semakin banyak seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan teknologi dibidang transportasi yang memudahkan perjalanan ke tanah suci, sedangkan lokasi pelaksanaan ibadah haji tidak pernah mengalami perkembangan. Diantara persoalan yang semakin sulit diatasi pada ibadah haji misalnya dalam pelaksanaan mabit di Mina, melempar jumrah dilokasi yang telah ditentukan nash, pelaksanaan thawaf, sa’i dan masalah lainnya yang berkaitan dengan keterbatasan waktu dan tempat berlangsungnya ibadah haji. Untuk melarang orang menunaikan haji, terutama yang belum pernah sama sekali, tentu tidak mungkin karena haji merupakan ibadah pokok dalam agama. Namun masalah ini harus dihadapi untuk memberikan solusi agar umat islam dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan mudah, dan aman. Kalau hanya hanya mengandalkan ketentuan hukum fiqh dengan pendekatan lama dalam menghadapi masalah haji ini, tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Oleh karena itu pendekatan alternatif, seperti dalam bentuk istihsa>n, akan banyak gunanya. 2. Transplantasi organ tubuh untuk kepentingan pengobatan. Semestinya hal ini tidak perlu dipermasalahkan lagi. Meskipun ada ketentuan umum yang melarang menyakiti tubuh seseorang, termasuk jenazah, namun dalil yang menyuruh manusia untuk berobat, rasanya lebih baik untuk diikuti. Dalam hal inipun pendekatan istihsa>n rasanya lebih tepat untuk dilaksanakan. Uraian di atas, tampak dengan jelas bahwa permasalahan fiqh akan semakin banyak bermunculan mengingat semakin pesatnya perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia. Kita tentu tidak bias berpangku tangan atau bersikap seenaknya (semaunya) dalam mencari solusi hukumnya, karena sikap demikian menyalahi prinsip umum dalam mengamalkan hukum, meskipun agama tidak akan memberati manusia dalam beramal. Berbuat seenaknya itu adalah yang di sebut talazzul atau tasysahhil (sesenangya) sebagaimana yang dikhawatirkan Imam al-Syafi’i dalam menggunakan istihsa>n. Kekhawatiran Imam al-Syafi’i itu pada dasarnya merupakan kekhawatiran semua orang. Menggunakan istihsa>n bukan berarti berbuat talazzus sebagaimana yang dikemukakan para pengguna istihsa>n dari kalangan mazhab Maliki, asal betul-betul mengikuti kaidah istihsa>n. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Secara etimologi istihsa>n (استحسان) berarti “memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau adanya sesuatu yang lebih baik. Dan bisa diartikan dengan menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu. Dalam pengertian secara etimologi ini tidak terdapat perbedaan ulama ushul fiqh. Dalam pengertian secara terminology banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul fiqh, akan tetapi bisa disimpulkan bahwa esensi dari istihsan itu adalah : a. Mentarjih qiya>s al-kahfiy daripada qiya>s al-jaliy, karena ada dalil yang mendukungnya b. Memberlakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli atau kaidah umum, didasarkan kepada dalil khusus yang mendukungnya. 2. Sebagian ulama menolak kehujjahan istihsa>n dan sebagian menerima kehujjahannya, adanya perbedaan ini disebabkan dengan titik sudut pandang mereka sendiri dalam memahami istihsa>n, akan tetapi tidak ada alasan untuk menolak istihsa>n apabila berdasarkan dalil yang didukung oleh syara’, sekalipun berdasarkan induksi dari berbagai ayat dan hadis. Adapun istihsa>n yang dilakukan semata-mata berdasarkan pendapat akal, maka seluruh ulama ushul fiqh menolaknya, karena dalam masalah hukum syara’ pendapat akal harus mendapat legilasi dari nash, walaupun secara umum. 3. Dewasa ini perkembangan peradaban manusia yang memiliki masalah yang rumit dan kompleks, seorang mujtahid harus mampu melihat kondisi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan tidak keluar dari kaidah-kaidah yang di syar’i. DAFTAR PUSTAKA Djamil, Faturrahman, H, Filsafat Hukum Islam, Cet I; Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997 Haroen, Nasrun, H, Ushul Fiqh, Cet II; Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 1997 Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Cet III; Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1998 Khallaf, Abdul.Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Cet VI; Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1996 ----------------------------, Ilmu Ushul Fikih, Cet. IV; Jakarta; PT Rineka Cipta, 1999 Mardani, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Cet I; Yokyakarta; Pustaka Pelajar, 2010 Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad Al-Syaukani,Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Cet I; Jakart; Logos Wacana Ilmu, 1999 Rasjid, Sulaeman, Fiqh Islam, Cet 36; Bandung; Sinar Baru Algensindo,2003 Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqh, Cet I; Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1999 Shiddieqy, Ash, Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Cet II; Semarang; PT Pustaka Rizki Putra, 1997 Sulaeman, Zulkarnain.H, Fikih Antara Pemikiran Liberal dan Tradisional Syekh Muhammad Al-Ghazali, Cet I; Makassar; Indobis, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan yang ingin komentar, tapi tolong gunakan bahasa yang sopan. :)